Perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas serta pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendorong Pemprov Sulut untuk meningkatkan fasilitas kesehatan yang dimiliki melalui pembangunan RSUD Provinsi Sulawesi Utara Pembangunan RSUD ini sangat penting mengingat Provinsi Sulawesi Utara belum memiliki rumah sakit rujukan provinsi sehingga rujukan pelayanan kesehatan dari RS kabupaten/kota atau 4 (empat) RS rujukan regional akan langsung dirujuk ke RSUP Prof. Dr. RD Kandou yang merupakan rumah sakit rujukan nasional.
Saat meresmikan RSUD “ODSK” Olly mengatakan bahwa Rumah Sakit ini telah dilengkapi dengan sejumlah sarana dan prasarana kesehatan terstandar dan diharapkan bisa memberikan layanan kesehatan berkualitas bagi masyarakat Sulawesi Utara.
Selain untuk sebagai Rumah Sakit untuk masyarakat Sulut, Rumah Sakit ini pun telah dikembangkan dengan kapasitas yang bisa menjangkau layanan kesehatan bagi wisatawan asing yang berkunjung ke Sulut.
Selain itu, Olly pun mengatakan Rumah Sakit ini akan dikembangkan dengan tambahan layanan fasilitas Rumah Sakit ibu dan anak yang nantinya akan dimanfaatkan untuk pusat edukasi publik dalam upaya mengurangi kasus “Stunting” di Sulawesi Utara.
Rumah Sakit Umum Daerah “ODSK” ini telah didukung dengan sistem informasi manajemen Rumah Sakit atau SIMRS yang lengkap serta didukung dengan layanan Digitalisasi RSUD.
Rumah Sakit tipe B ini diharapkan bisa menjadi Rumah Sakit rujukan Provinsi terutama untuk pasien dari 15 Kabupaten dan Kota se-Sulut.
Salah satu layanan unggulan di Rumah Sakit ini ialah ruang Hemodialisa bagi pasien gagal ginjal kronis yang membutuhkan tindakan medis “Cuci darah”.
Boulevard, adalah nama pusat perdagangan, dibangun di atas lahan hasil reklamasi. Direklamasi oleh 6 pengembang (developer), yang dimulai pada tahun 1995. Panjangnya 4,3 km dengan luas 67 Ha. Mirip kawasan reklamasi Orchard Road di Singapura. Nama yang sebenarnya adalah jalan Pierre Tendean, namun masyarakat menyebutnya Boulevard.
Sejak kehadiran Boulevard, aktivitas masyarakat yang sebelumnya terkonsentrasi di bendar atau pusat kota (eks pasar 45 dan sekitarnya) beralih ke kawasan yang ramai dan padat pengunjung ini. Pemerintah menamainya kawasan B on B (Boulevard on Business). Kawasan ini tidak hanya menjadi pusat perdagangan tersibuk, tapi juga menjadi salah satu eksotisme yang menarik untuk menyaksikan kekhasan sunset menuju peraduannya, menikmati romantisme keindahan birunya laut, dan menghirup udara malam yang semilir segar.
Menjelang sore hari ketika berada di Boulevard, suasana sejuk dan menyenangkan sulit diuraikan dengan kata-kata. Warna-warni awan di kaki langit menjelang sore hari, dan ombak kecil berbuih lalu memecah di tengah laut sungguh mengundang decak kagum. Mata seakan tak berkedip menyaksikan keindahan gunung Manado Tua dengan ketinggian 750 meter yang berdiri kokoh di tengah laut; dan terpana menyaksikan pesona pulau Bunaken dan Siladen dengan ketinggian 200 meter, yang tampak bergelombang menuju puncak ketinggiannya.
Ke arah darat, mata akan disugukan barisan bukit hijau yang tampak seperti memagari kota Manado.Boulevard merupakan pusat perkembangan kota Manado yang modern. Lokasinya yang strategis menjadi magnet bagi para pelaku bisnis (businessman). Sejak pukul 09.00 sampai malam hari dipadati orang-orang berbelanja maupun yang hanya sekedar menghirup udara segar melepaskan kepenatan tubuh.
Boulevard tidak hanya menjadi objek wisata belanja, tapi juga menjadi lokasi yang menyajikan aneka ragam kuliner, dan merupakan tempat yang ideal untuk menyaksikan keindahan kota Manado pada malam hari. Kawasan Boulevard juga dihiasi dengan sejumlah hotel berbintang, kafe, restoran, toko dan ruko dengan jumlah yang tak terhidung.Pada momen-momen tertentu, sejumlah ruas jalan di kawasan yang menjadi landmark kota Manado ini digunakan untuk kegiatan hiburan masyarakat seperti konser dan pertunjukkan musik.
Pada setiap hari Sabtu, ruas jalan dikawasan berview laut ini dikhususkan untuk kegiatan olah raga seperti joging, jalan kaki, senam dan bersepeda ria.Pada hari Minggu, kawasan belanja yang dipadati pengunjung dari kabupaten/kota se-Sulut dan provinsi terdekat ini berubah lengang. Pusat perbelanjaan, toko, café, rumah kopi dan restoran sekitar 90 persen lebih menghentikan aktivitas bisnisnya. Pada umumnya pemilik dan karyawan melakukan aktivitas kerohanian di rumah ibadah dan yang lainnya melakukan kegiatan weekend.
Perkembangan Islam di Manado awalnya berasal dari saudagar dan ulama asal Yaman.
Di Manado, Sulawesi Utara, kantong-kantong umat Islam terutama terletak di Kampung Arab, Kampung Islam, Kampung Ketang Baru, dan Kampung Ternate Baru. Namun, yang paling ramai adalah Kampung Arab, Kelurahan Istiqlal.
“Bicara perkembangan Islam di Manado, awalnya berkembang dari Kampung Arab. Para penganjur Islam tersebut adalah saudagar dan ulama asal Yaman (Hadramaut). Mereka datang ke Manado tahun 1800-an untuk berdagang sekaligus berdakwah,” ujar mantan Ketua Al Irsyad Wilayah Sulawesi Utara Abdul Azis Wakid kepada Republika.
Kampung Arab merupakan mercu suar Islam di Manado. Di kampung ini, aktivitas umat Islam sangat semarak. Pusat kegiatan itu adalah Masjid Istiqlal, yang berada di tengah-tengah Kampung Arab.
“Setiap hari, masjid ini dipakai untuk sholat berjamaah lima waktu, dari subuh sampai isya,” ujar Ustadz Taha bin Muhammad Bahmid, imam Masjid Istiqlal, saat berbincang.
Ditinjau dari luas wilayah, Kampung Arab relatif kecil. Luasnya hanya 9,2 hektare. “Kampung Arab merupakan kelurahan yang paling kecil di kota Manado, tapi paling besar gaung Islamnya. Masjid Istiqlal merupakan masjid yang paling makmur di Manado,” kata Taha yang didampingi imam lainnya, Haji Ali Assegaf.
Taha menyebutkan, Kampung Arab dihuni sekitar 400 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduknya sekitar 3.000 orang. Meskipun namanya Kampung Arab, tidak semuanya merupakan orang-orang keturunan Hadramaut (Arab). Ada juga sebagian orang keturunan non-Arab yang kini tinggal di kelurahan tersebut.
“Saat ini hanya 70 persen orang keturunan Arab yang mendiami Kelurahan Istiqlal,” ujarnya.
Kampung Arab telah melahirkan orang-orang besar dalam pergerakan Islam di Sulawesi Utara (Sulut). “Pimpinan-pimpinan Masyumi, NU, Muhammadiyah di Sulut umumnya berasal dari Kampung Arab,” ujar Taha yang merupakan generasi ketiga saudagar dan ulama asal Hadramaut di Manado.
Ali Assegaf mengatakan, pusat kegiatan umat Islam di Kelurahan Istiqlal berada di Masjid Istiqlal (dulu disebut Masjid Masyhur). “Masjid Masyhur adalah masjid terindah di Manado, bahkan terindah di Indonesia Bagian Timur. Masjid itu dibangun dengan swadaya masyarakat” katanya.
Masjid tersebut, kata dia, berdiri sekitar tahun 1880. Renovasi terakhir tahun 1988, masjid tersebut dibongkar total. “Menurut riwayat, awalnya luas masjid tersebut 16 meter persegi, sekarang menjadi empat lantai dengan kapasitas 2.000 orang,” ujarnya.
Masjid Istiqlal diresmikan Wapres Try Sutrisno pada 1992. Selain merupakan masjid yang paling semarak kegiatan Islamnya, Masjid Istiqlal bertambah harum karena pernah disinggahi banyak sekali tokoh besar.
“Buya Hamka, Kasman Singodimedjo, Muhammad Room, Muhammad Natsir, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Salim Al Jufri, Zainuddin MZ, pernah sholat di Masjid Istiqlal,” ungkap Ali Assegaff.
Kepedulian warga Kampung Arab terhadap umat Islam di Manado sangat besar. Mereka selalu berusaha menolong saudara-saudaranya seagama yang membutuhkan. Untuk itu, mereka antara lain membentuk Yayasan Amal Masjid Istiqlal Manado (YAMIM). Yayasan tersebut bergerak di bidang sosial dan ekonomi. Salah satunya adalah usaha mobil ambulans yang ditujukan membantu warga Muslim Manado yang membutuhkan.
Suasana Islam di Manado makin terasa kental pada hari raya Idul Fitri. Pada hari kedua ada tradisi yang namanya iwad. “Ini merupakan silaturahim langsung masyarakat door to door. Tidak pandang bulu, siapa pun dia, pokoknya 400 rumah harus dimasuki. Acara tersebut berlangsung dari pukul 07.00 sampai pukul 14.00. Tradisi ini hanya ada di Kampung Arab,” ujar Taha.
Indonesia termasuk salah satu negara yang cukup unik, karena setiap daerahnya memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Di Manado misalnya, disini pengunjung bisa menemukan Jembatan Soekarno yang banyak dikunjungi wisatawan. Bukan sembarang jembatan, sebab disini pengunjung bisa melakukan sejumlah aktivitas seru. Berikut ulasannya.
Pada bulan Mei tahun 2015 lalu, kota Manado resmi memiliki sebuah ikon baru yang diberi nama Jembatan Soekarno atau biasa disebut Soekarno Bridge. Jembatan yang diresmikan langsung oleh presiden ke 7 Indonesia ini sedikit berbeda dengan jembatan penyeberangan pada umumnya, karena dalam pembangunannya sendiri menorehkan cerita sejarah panjang.
Sebelum dijadikan sebagai destinasi wisata seperti sekarang, ternyata dulunya proses pembangunannya sendiri pernah terbengkalai selama kurang lebih 12 tahun lamanya. Salah satu faktor penghambat pengerjaan jembatan gagah tersebut, yaitu pembangunannya memerlukan penanganan khusus mengingat kontur tanahnya yang unik dibandingkan wilayah lainnya.
Meski sempat terbengkalai hingga belasan tahun lamanya, pihak kontraktor bernama PT. Hutama Karya yang secara khusus menanganinya tidak ingin menyerah begitu saja. Tidak kehabisan akal, mereka kemudian melakukan penguatan dengan menambahkan sejumlah pondasi serta tambahan kabel penyangga. Hal ini dilakukan agar jembatan tetap gagah hingga puluhan tahun lamanya.
Tingkat kesulitan yang cukup tinggi dan membutuhkan pertimbangan matang, tentu saja Pemerintah harus mengeluarkan dana lebih untuk bisa membangunnya. Tidak tanggung tanggung, bahkan Pemerintah memperkirakan jumlah anggaran yang harus dikeluarkan mencapai 300 miliar rupiah. Aliran dananya sendiri sudah dilakukan sejak awal proyek dilakukan pada tahun 2003 lalu.
Dengan kata lain, pembangunan jembatan ini bahkan sudah dilakukan saat ibu Megawati Soekarnoputri yang saat itu masih menjabat sebagai presiden Indonesia. Menyadari tingginya anggaran yang harus dikeluarkan, Pemerintah menekan kontrak tahunan dan kontak tahun jamak dengan menggunakan dana yang terkumpul dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Sebenarnya proses pembangunan jembatan dengan total panjang mencapai 1.127 meter ini, berawal dari sebuah ide hasil prakarsa yang dilakukan oleh Gubernur E.E Mangindaan beserta dengan Ir. Lucky H. Korah selaku Walikota Manado saat itu. Ternyata ide tersebut merupakan bagian dari pelengkap grand design pariwisata bagi kota Manado.
Taman Kesatuan Bangsa Manado adalah sebuah taman kota serbaguna yang lokasinya berada di pusat Kota Manado, di kawasan yang sebelumnya dikenal dengan nama Pasar ’45. Taman Kesatuan Bangsa Dotu Lolong Lasut diresmikan pada 1987, dan di dalamnya terdapat taman, Teater Terbuka, Monumen Dotu Lolong Lasut, dan Pusat Informasi Wisata Manado.
Suasana yang cukup panas di Taman Kesatuan Bangsa Dotu Lolong Lasut ini sedikit tertolong dengan adanya beberapa pepohonan yang cukup rindang di sebagian tepi taman yang oleh penduduk setempat lebih dikenal dengan nama populer TKB (Taman Kesatuan Bangsa).
Lokasi taman sekitar 100 meter dari Tugu Peringatan Pendaratan Batalyon Worang yang ada di pertigaan Jl Sam Ratulangi, atau sekitar 440 meter dari bibir pantai terdekat. Warung-warung kopi sepertinya mudah ditemui di sisi barat taman ini, namun saya tak sempat mampir ke salah satu warungnya.
Pemandangan di salah satu bagian Taman Kesatuan Bangsa Dotu Lolong Lasut Manado, dengan Patung Dotu Lolong Lasut berdiri di tengah-tengah area taman, ada lambang salib dalam ukuran besar berwarna biru, serta Bangunan Pusat Informasi Wisata di latar belakang.
Klenteng Ban Hin Kiong (Tionghoa: 萬興宮; pinyin: Wàn xìng gōng) adalah kelenteng tertua di Manado yang didirikan pada tahun 1819, kemudian pada tahun 1839 dibangun rumah abu (Kong Tek Su). Pada awal berdirinya kelenteng ini terbuat dari rumah diselingi bambu yang sederhana.
Di tengah kepadatan hunian serta ramainya kendaraan di jalan DI Panjaitan, Kelurahan Calaca, Kecamatan Wenang, Kota Manado, Sulawesi Utara, terdapat sebuah bangunan dengan warna merah mencolok dengan ciri khas arsitektur China. Bangunan itu adalah Kelenteng Ban Hing Kiong.
Secara etimologi, nama Ban Hing Kiong berasal dari bahasa Tiongkok yang terdiri dari tiga kata, yaitu Ban yang artinya banyak, Hin memiliki arti berkah yang melimpah, sedangkan Kiong dapat dimaknakan dengan Istana. Jadi secara harfiah, nama Ban Hing Kiong dapat dimaknakan sebagai suatu tempat ibadah yang dibangun sebagai istana Tuhan dan memiliki berkah yang melimpah.
Keberadaan kelenteng sendiri tidak lepas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang pada waktu itu membangunan pemukiman – pemukiman yang berdasarkan etnis. Ada etnis China, Arab, termasuk Minahasa, gunanya untuk mudah dalam mengontrol. “Jadi dikumpulkan, sehingga kemudian lahirlah apa yang disebut dengan pemukiman khusus warga Tionghoa yang namanya Kampung China di sebelahnya ada kampung Arab ada juga disebut dengan Kampung Tomohon dan ada bantik dan sebagainya,”
Godbless Park merupakan public park yang berada di Kota Manado. Public park (taman) ini sering dimanfaatkan oleh warga Kota Manado untuk olahraga, refreshing, hingga bersantai. Godbless Park juga menjadi tempat berkumpul keluarga, telebih public park ini di desain dengan baik, terawat, penuh dengan tumbuhan sehingga segar, serta di desain minimalis dilengkapi tempat duduk-duduk untuk santai.
Pulau Siladen, Tujuan Wisata Bahari Berpasir Putih di Manado. Pulau yang menyimpan keindahan alam yang luar biasa.
Jika Anda sedang berkunjung ke daerah Sulawesi Utara, tepatnya di kota Manado Anda pun pastinya tak boleh untuk melewatkan destinasi wisata satu ini. Wisata pulau Siladen ini menjadi salah satu wisata yang harus masuk ke daftar tempat yang wajib untuk Anda kunjungi ketika berada di Manado. Untuk mengetahui keindahan dari pulau satu ini, Anda pun bisa menyimak ulasannya berikut ini.
Pulau Siladen ini merupakan salah satu pulau yang berada di kecamatan Bunaken. Pulau ini tepatnya berlokasi di sebelah timur laut Pulau Bunaken atau berjarak sekitar 8 mil dari pusat kota Manado. Bagi Anda yang ingin mencapai lokasi satu ini, maka Anda pun dapat dengan mudah untuk menempuhnya selama kurang lebih 45 menit dengan menggunakan kapal motor.
Selain itu, pulau ini pun termasuk salah satu pulau yang memiliki luas tanah yang cukup besar yakni mencapai 31,25 hektar. Yang membuat pulau ini menjadi lebih indah dan cocok untuk Anda jadikan destinasi wisata adalah pulau Siladen ini memiliki hamparan pasir putih yang sangat cantikdan mengelilingi hampir seluruh pulau. Tak hanya itu saja, di sepanjang bibir pantai dari pulau satu ini pun juga dikelilingi oleh beragam pepohonan yang akan menambah nuansa sejuk ketika Anda mengunjungi tempat satu ini.
Destinasi wisata yang bernama Gunung Tumpa ini berlokasi di Kota Manado, Sulawesi Utara. Memiliki ketinggian 750 meter di atas permukaan air laut, gunung ini pun menawarkan pemandangan yang indah dan pesona tersendiri. Meski termasuk ke dalam gunung dengan ukuran yang cukup rendah, namun gunung ini sering digunakan sebagai destinasi para pendaki pemula.
Bahkan banyak pula para pendaki ulung yang mampir ke destinasi ini untuk sekedar menikmati keindahannya. Gunung ini merupakan hutan lindung yang terdiri dari ribuan pepohonan yang didalamnya masih terdapat beragam flora dan fauna eksotis. Bahkan lokasi wisata ini pula ditumbuhi dengan pepohonan kelapa yang kabarnya merupakan perkebunan milik warga setempat.
Berada di lokasi yang cukup strategis, sehingga membuat Gunung Tumpa menawarkan pemandangan berupa landscape kota Manado dari ketinggian. Disini pengunjung bisa menyaksikan deretan bangunan yang berada di kawasan Boulevard dan perbukitan yang memagari kota Manado pada bagian tengah dan selatan, sehingga nampak sangat indah.
Jika Anda melihat arah laut, mata Anda akan langsung tertuju ke berbagai pulau wisata yang berada di teluk Manado. Beragam pulau tersebut diantaranya yaitu Pulau Manado Tua, Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage, hingga Pulau Lihaga yang berada di Minahasa Utara. Keseluruhan pulau tersebut akan nampak terapung di atas air yang membentengi teluk Manado tersebut.
Di pusat Kota Manado, ada sebuah gereja bernama Gereja Sentrum Manado atau lengkapnya Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM) Sentrum Manado.
Gereja ini terletak di Kelurahan Lawangirung, Kecamatan Wenang, Provinsi Sulawesi Utara.
Menurut sejarah, gereja ini berdiri sejak tahun 1677. Gereja ini merupakan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda ini merupakan gereja tertua di Manado.
Dulu namanya bukan Gereja GMIM Sentrum, tetapi Gereja Besar (Oude Kerk) Manado. Nama “Sentrum” baru digunakan setelah kemerdekaan. Di masa silam, gereja ini berada di bawah binaan Indische Kerk atau Gereja Negara.
Namun, kehidupan rohani yang dikuasai oleh negara menimbulkan ketidakpuasan. Hal tersebut kemudian mendorong lahirnya KGPM pada 1933 sebagai jawaban atas pemisahan gereja dari negara.
Pada masa Indische Kerk, pelayanan administrasi Gereja di Minahasa dan Bitung berpusat di Manado. Kemudian sejak 30 September 1934, Gereja Protestan di Manado, Minahasa, dan Bitung dinyatakan berdiri sendiri dengan sebutan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Kedudukan kantornya pun tidak lagi di Manado, tapi dipindahkan ke Tomohon.
Pada masa pendudukan Jepang, Gereja Sentrum pernah dijadikan sebagai markas MSKK (Manado Syuu Kiri Sutokyop Kyookai) yang dipimpin oleh Pendeta Jepang Hamasaki. Namun sayangnya, bangunan gereja ini hancur dibom ketika Perang Dunia II.
Pada 1946 sampai 1947, dibangunlah Monumen Perang Dunia II oleh sekutu /NICA, dengan arsiteknya Ir Van den Bosch. Letaknya tepat di samping lokasi Gereja Sentrum. Monumen ini dibangun sebagai suatu kenangan terhadap korban Perang Pasifik, baik dari pihak sekutu, Jepang, maupun rakyat, semasa Perang Dunia II berlangsung.
Pada tahun 1952, Gereja yang merupakan artefak budaya ini dibangun kembali dan ditahbiskan 10 Oktober 1952. Bangunannya bercorak khas Gereja Protestan di Belanda yang berbentuk persegi sebagai simbol empat penjuru mata angin.
Bangunan GMIM Sentrum Manado telah beberapa kali direnovasi dan mengalami perubahan. Posisi mimbar yang sebelumnya menghadap ke utara dipindahkan dari utara menghadap ke timur, namun keaslian dinding dan pilarnya tetap dipertahankan.
Sebagai pusat kegiatan keagamaan dan objek wisata religi, GMIM telah banyak didatangi wisatawan. Ratu Beatrix dari Belanda dan suaminya, Pangeran Claus Van Amsberg, pun pernah mengunjungi Gereja di ibu kota Sulawesi Utara ini pada 1995.